Pada hari
ini kita tidak membahas sejarah yang banyak hanya inti-intinya saja karena
susah dan panjang buat dijelaskan.
Menurut
legenda setempat, nenek moyang masyarakat kepulauan Kei berasal dari Bali.
Mereka merupakan pelarian bangsawan dari runtuhnya kerajaan Majapahit pada abad
15. Mereka dipimpin oleh Kasdew yang dapat direpresentasikan sebagai dewa. Dia
dan dan istrinya, Dit Rantgil kemudian menetap di sebuah tempat bernama
Ohoivuur yang sekarang berletak dekat desa Letvuan. Kasdew dan Dit Rantgil pun
kemudian menyebarkan agama “hindu” yang merupakan agama asli masyarakat
kepulauan Kei. Anak-anak Kasdew dan Dit Rangil berperan besar dalam
terbentuknya dan tersebarnya hukum adat Larvul Ngabal dan naiknya berapa Raja
Ratschap di Kei. (Hukum Larvul Ngabal dan Ratschap akan dibahas di hari yang
lain).
Ada lagi
cerita tentang datangnya keturunan masyarakat Banda ke kepulauan Kei. Pada
tahun 1623 Ketika kepulauan Banda dibumihanguskan oleh JP Coen, datanglah para
pendatang baru ke kepulauan Kei. Mereka adalah masyarakat asli kepulauan Banda
yang mengungsi karena kampung halaman mereka dihancurkan oleh VOC untuk
memonopoli perdagangan pala. Pendatang dari Banda tersebut kemudian menetep di
Kei Besar dan mendirikan dua desa yaitu Desa Banda Eli dan Banda Elat.
Selain kedua
contoh tersebut ada banyak cerita masyarakat tentang asal usul masyarakat yang
tinggal di kepulauan Kei. Selain datang dari Bali dan Banda, ada juga yang
berasal dari Jawa, Arab, Seram,Leti, dan lain-lain tempat. Warisan nenek moyang
tersebut dalam masyarakat modern kepulauan Kei ditandai oleh beberapa marga
yang mencerminkan asal usul mereka. Marga Ohoiwutun dapat diartikan sebagai
Orang Buton. Dimana pengartian tersebut menurut cerita kepala marga merupakan
asal nenek moyang mereka. Salah satu marga yang menurut masyarakat Kei langsung
berasal dari Bali adalah marga Letsoin. Selain penggunaan pada marga, juga ada
beberapa nama desa yang dinamai dari asal leluhur mereka seperti desa Selayar
dan desa Danar Ternate.
Kontak
pertama kepulauan Kei dengan Belanda dimulai pada tahun 1622 melalui VOC,
Tetapi VOC tidak terlalu tertarik untuk menguasai kepulauan Kei karena tidak
adanya rempah-rempah seperti di Kepulauan Banda dan Kepulauan Lease. Tetapi VOC
menempatkan perwakilan mereka di Elat dan membuat perjanjian dengan beberapa
raja di Kei yaitu raja Fer.
Maluku
Muslim yang akan naik haji pada abad 19. Photo credit to Collectien Tropen
Museum
Dari abad 17
juga kepulauan Kei berada di jalur perdagangan Indonesia Timur dari kepulauan
Aru ke Cina. Sehingga hal tersebut membuat para pedagang dari Bugis, Makassar,
dan Buton mulai mengambil peran sebagai pedagang di kepulauan Kei. Pada masa
itupun agama Islam mulai masuk di kepulauan Kei. Agama Islam sendiri merupakan
agama abrahamic pertama yang datang ke Islam. Tidak ada catatan yang pasti di
mana agamaIslam pertama kali sampai di kepulauan Kei. Ada beberapa versi yang
menyebutkan bahwa agama Islam pertama kali datang di desa Dullah. Ada juga yang
bercerita agama Islam mennyebar terlebih dulu di kepulauan Tayando baru ke
kepulauan Kei. Ada beberapa catatan asing juga menceritakan bahwa Islam pertama
kali masuk di desa Fer. Tetapi yang dapat dipastikan adalah ketika masyarakat
Banda datang ke Kei dan mendirikan Banda Eli dan Elat mereka sudah memeluk Islam.
Tetapi sampai datangnya misionaris kristen tidak sampai 20 persen masyarakat di
Kei beragama Islam. Sehingga sampai pada tahun 1930 masih terjadinya
“persaingan” antara misionaris dengan para ulama untuk menyebarkan agama-agama
mereka di Kei
Alfred
Russell Wallace dalam perjalananya ke kepulauan Aru pun sempat mampir di
kepulauan Kei pada tahun 1850an.

Kota Tual
tahun 1915. Credit photo to Collectie Tropen Museum
Pada tahun
1882, Belanda mulai mendirikan kantor pemerintahan kolonial di Kei. Dan dimulai
dari tahun 1882 merupakan masa “penjajahan” Belanda di Kei. Kedatangan dan
pembukaan kantor kolonial pun membuka babak baru di kepulauan Kei. Dimana hal
tersebut ditandai dengan masuknya misionaris Katolik ke Kei. Misionaris Katolik
pun pertama-tama masuk ke Tual, tetapi karena masyarakat Tual sudah masuk islam
maka misionaris katolik pindah ke desa lain yaitu Ohoingur. Di desa Ohoingur
para misionaris katolik berhasil “menyembuhkan” dan membaptis seorang balita 2
tahun dari epidemik kolera yang terjadi disana. Masyarakat di Ohoingur pun
percaya dengan kemampuan supernatural yang dilakukan oleh para misionaris dan
menginjinkan banyak anak-anak untuk dibaptis. Tak lama setelah itu seluruh Desa
Ohoingur masuk agama Katolik, dan desa Ohoingur pun kemudian berganti nama
menjadi Langgur untuk menghormati Adolph Langen (Pebisnis yang meminta
keuskupan untuk mengirim misionaris Katolik). Kemudian pada tahun awal abad 20
datanglah para misionaris protestan ke Kei. Dimana fokus misionaris protestan
lebih ke Kei Besar, dan misionaris katolik lebih ke Kei Kecil.

Sekolah yang
didirikan oleh misionaris di Langgur. credit photo to collectie tropenmuseum.
Penyebaran
agama oleh para misionaris membuat masyarakat kepulauan Kei menjadi lebih
modern dengan dibukannya sekolah, memperkenalkan pakaian modern, dan
pemerintahan yang lebih modern. Banyak juga warga-warga kepulauan Kei yang
ditarik untuk membantu misionaris di tempat lain di Indonesia Timur, menjadi
administratur bagi Belanda di kawasan Indonesia Timur dan menjadi anggota KNIL.
Tetapi terjadi perubahan yang signifikan sekali terhadap kehidupan sosial
masyarakat di kepulauan Kei. Karena terjadi semacam “balkanisasi” terhadap
masyarakat Kei melalui pemisahan desa menurut agama, maka oleh sebab itu
terdapat desa Islam, desa Katolik, desa Protestan di masyarakat kepulauan Kei
modern.
Pada perang
dunia kedua, Jepang pun datang ke kepulauan Kei dan menempatkan pasukan disana.
Keberadaan Jepang disana membangun beberapa instalansi militer seperti lapangan
terbang di desa Letfuan dan beberapa tangsi militer seperti di desa Evu
Di era
revolusi untuk kemerdekaan Indonesia, tidak banyak catatan tentang perlawanan
mendukung kemerdekaan RI terjadi di kepulauan Kei, tetapi menurut buku pak A.H.
Nasution tentang jaman revolusi sempat berdiri organisasi yang pro kemerdekaan
RI di Tual pada saat era revolusi. Dan kepulauan Kei pun tergabung dalam dewan
Maluku Selatan yang menjadi bagian dari Negara Indonesia Timur.
Tahun 1950,
ketika Indonesia sudah resmi mendapatkan pengakuan kemerdekaan dari Belanda,
terjadilah pemberontakan RMS di Ambon. Tetapi menurut masyarakat konsep RMS
tidak laku di kalangan masyarakat Kei karena terlalu didominasi oleh masyarakat
Ambon. Sehingga ketika TNI mendaratkan pasukan di Kei tidak ada perlawanan sama
sekali terhadap pemerintah Republik Indonesia.
Tahun 1951,
Gubernur pertama provinsi Maluku yaitu Mr. J. Latuharhary berkunjung ke kawasan
selatan Ambon lainnya dengan menumpang kapal Kasimbar menemui beberapa tokoh
masyarakat Kei dan tokoh-tokoh lain dari pulau-pulau di selatan Ambon lainnya
seperti Tanimbar, Aru, Kisar, Leti, dan Wetar. Kunjungan tersebut menyampaikan
tentang akan dibentuknya Daerah Tingkat II di kawasan selatan Ambon yang telah
disuarakan oleh tokoh-tokoh tersebut ketika masih berada di dewan Maluku
Selatan di Negara Indonesia Timur.
Your browser
does not support the video tag.
Logo
kabupaten Maluku Tenggara. Credit to Wikimedia.
Pada tahun
1957 dibentuknya Kabupaten Maluku Tenggara yang terdiri dari kepulaun Kei,
kepulauan Aru, kepulauan Tanimbar, kepulauan Babar, kepulauan Kisar, kepulauan
Leti, kepulauan Damar, Kepulauan Wetar. Berdirinya kabupaten Maluku Tenggara
menempatkan Tual yang berada di kepulauan Kei sebagai ibukota kabupaten.
Ketika jaman
trikora untuk merebut Papua, kepulauan Kei menjadi lokasi yang strategis untuk
menginfiltrasi Papua. Desa Letfuan yang memiliki lapangan terbang peninggalan
Jepang menjadi basis bagi beberapa pesaawat TNI AU seperti Mig-17, B-25, B-26,
C-47.

Jembatan
Usdek yang menghubungkan Dullah dan Kecil. credit photo to matdoan.blogspot
Di era orde
baru, pembangunan mulai masuk di Kei pada tahun 1980an. Dimana sudah banyak
didirikan gedung-gedung pemerintahan yang megah seperti kantor walikota Tual
dan pembangunan jembatan usdek yang menghubungkan pulau Dullah dan Kei Kecil.
Ketika berakhirnya era orde baru pada tahun 1999. Konflik berbau SARA yang
dimulai di Ambon masuk ke Kei. (Dan itu akan dibahas beberapa hari kedepan)
Tahun 2000,
kabupaten maluku tenggara dimekarkan menjadi 2 yaitu kabupaten maluku tenggara
dan kabupaten maluku tenggara barat. Pemekaran tersebut membuat kabupaten
maluku tenggara hanya terdiri dari kepulauan Kei dan kepulauan Aru. Tetapi
situasi tersebut tidak berlangsung lama, tahun 2003 kepulauan Aru memisahkan
diri dan membentuk kabupaten baru sehingga kabupaten maluku tenggara mencakup
semua kepulauan Kei.

Logo
pemerintahan kotamadya Tual
Tahun 2007
di pemerintahan di kepulauan Kei menjadi 2 yaitu, kabupaten Maluku Tenggara dan
kotamadya Tual. Kotamadya Tual sendiri terdiri dari seluruh pulau Dullah dan
kepulauan Tayando. Sedangkan kabupaten Maluku Tenggara terdiri dari pulau Kei
Besar dan Kei Kecil serta pulau — pulau yang lainnya.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar