SEJARAH LISAN
Penduduk
Kepulauan Kei hampir tidak memiliki catatan sejarah tertulis.
Sebaliknya mereka memiliki ''Tom-Tad'', yakni hikayat-hikayat lisan yang
disertai dengan benda-benda warisan tertentu sebagai penjamin
keontentikan hikayat itu. Sebagian besar hikayat ini dibumbui dongeng
atau lambang-lambang, akan tetapi dianggap sepenuhnya benar secara
harafiah oleh pribumi kepulauan ini pada umumnya.
Menurut
hikayat setempat, leluhur orang Kei berasal dari ''Bal'' (Bali),
wilayah kerajaan Majapahit di kawasan Barat Nusantara. Konon dua perahu
utama berlayar dari pulau Bali, masing-masing dinahkodai oleh Hala'ai
Deu dan Hala'ai Jangra. Setibanya di kepulauan Kei, dua perahu ini
berpisah. Perahu rombongan Jangra menepi di Desa Ler-Ohoylim, pulau Kei
Besar, dan perahu rombongan Deu berlabuh untuk pertama kalinya di Desa
Letvuan, Pulau Kei Kecil.
Letvuan
dijadikan pusat pemerintahan, tempat dikembangkannya hukum adat Larvul
Ngabal (Darah merah dan tombak Bali) atas gagasan Putri Dit Sakmas.
Bukti hubungan dengan Bali ini di Kei kecil mencakup beberapa benda
warisan dan sebuah tempat berlabuh yang dinamakan ''Bal Sorbay''
(Bali-Surabaya), yakni tempat perahu keluarga kerajaan itu dulu
berlabuh.
Hala'ai
Jangra dan Hala'ai Deu adalah gelar, bukan nama diri. Nama asli mereka
tidak lagi diketahui. Sebagian pemuka adat Kei mengatakan bahwa nama
asli Hala'ai Deu adalah Esdeu, ada yang mengatakan Kasdeu, ada pula yang
berpendapat bahwa nama sebenarnya adalah Sadeu, atau Sadewa, atau pun
Dewa.
Selain
Bali, orang Kei yakin bahwa negeri-negeri asal leluhur mereka mencakup
''Sumbau'' (Pulau Sumbawa), ''Vutun'' (Buton), ''Seran Ngoran'' (Pulau
Seram]] dan Gorom di Maluku Tengah), serta ''Dalo Ternat'' (Jailolo dan
Kesultanan Ternate)
SEJARAH - PRASEJARAH
Tom Goodman bersama tim ekspedisi Duyikan dari Universitas Hawaii adalah salah satu dari beberapa ilmuwan asing yang meneliti gua kuno Ohoidertavun
yang berada pada ketinggian sekitar 15 meter dari permukaan laut di Kei
Kecil. Di sekitar gua kuno ini ditemukan dinding batu sepanjang 200
meter yang terukir apik dengan beragam gambar dan lukisan/tulisan kuno.
Lukisan kuno yang terpajang di dinding goa Ohoidertavun menggambarkan
beragam kehidupan masyarakat pada masa lampau dalam kaitannya dengan
alam sekitarnya seperti matahari, bulan, dan bintang, serta perahu
sebagai sarana transportasi, kehidupan fauna dan flora, bahkan lukisan
topeng. Pada situs tersebut juga tergambar lukisan mengenai seni tari
gembira sebagai ungkapan syukur yang lebih terfokus pada kehidupan
religius. Lukisan di dinding goa Ohoidertavun mengekspresikan tingginya
kebudayaan bangsa Indonesia pada ribuan tahun silam yang memiliki
spesifikasi yang serupa dengan karya lukisan masyarakat asli Papua dan Australia.
Adanya kemiripan sejarah dan budaya ini mengundang perhatian khusus
Direktur/Produser Film dari Australia, Marcus Gillezeau untuk
mengabdikannya dalam film dokumenter untuk disebarluaskan ke seluruh
dunia guna mengundang semakin banyak ilmuwan, wisatawan, dan petualang
berkunjung ke daerah rempah-rempah ini, yang pernah kesohor pada masa
lalu.
Apa
yang ditemukan di goa Ohoidertavun merupakan sesuatu yang tergolong
langka, unik, dan luar biasa menarik untuk diteliti dan dikaji,
ungkap Marcus. Karenanya perlu diangkat ke permukaan untuk dipromosikan
karena lukisan tangan para leluhur yang tergolong langka di tebing batu
setinggi 24 meter itu secara antropologi mengisyaratkan adanya semacam
kesamaan hubungan keturunan antara suku asli Kepulauan Kei dengan penduduk asli Australia.
SEJARAH LISAN
Penduduk Kepulauan Kei hampir tidak memiliki catatan sejarah tertulis. Sebaliknya mereka memiliki Tom-Tad,
yakni hikayat-hikayat lisan yang disertai dengan benda-benda warisan
tertentu sebagai penjamin keontentikan hikayat itu. Sebagian besar
hikayat ini dibumbui dongeng atau lambang-lambang, akan tetapi dianggap
sepenuhnya benar secara harafiah oleh pribumi kepulauan ini pada
umumnya.
Menurut hikayat setempat, leluhur orang Kei berasal dari Bal (Bali), wilayah kerajaan Majapahit
di kawasan Barat Nusantara. Konon dua perahu utama berlayar dari pulau
Bali, masing-masing dinahkodai oleh Hala'ai Deu dan Hala'ai Jangra.
Setibanya di kepulauan Kei, dua perahu ini berpisah. Perahu rombongan
Jangra menepi di Desa Ler-Ohoylim, pulau Kei Besar, dan perahu rombongan Deu berlabuh untuk pertama kalinya di Desa Letvuan, Pulau Kei Kecil.
Letvuan
dijadikan pusat pemerintahan, tempat dikembangkannya hukum adat Larvul
Ngabal (Darah merah dan tombak Bali) atas gagasan Putri Dit Sakmas.
Bukti hubungan dengan Bali ini di Kei kecil mencakup beberapa benda
warisan dan sebuah tempat berlabuh yang dinamakan Bal Sorbay (Bali-Surabaya), yakni tempat perahu keluarga kerajaan itu dulu berlabuh.
Hala'ai
Jangra dan Hala'ai Deu adalah gelar, bukan nama diri. Nama asli mereka
tidak lagi diketahui. Sebagian pemuka adat Kei mengatakan bahwa nama
asli Hala'ai Deu adalah Esdeu, ada yang mengatakan Kasdeu, ada pula yang
berpendapat bahwa nama sebenarnya adalah Sadeu, atau Sadewa, atau pun
Dewa.
Selain Bali, orang Kei yakin bahwa negeri-negeri asal leluhur mereka mencakup Sumbau (Pulau Sumbawa), Vutun (Buton), Seran Ngoran (Pulau Seram dan Gorom di Maluku Tengah), serta Dalo Ternat (Jailolo dan Ternate).
ZAMAN MODERN
Pulau kecil Tanimbar-Kei bukanlah bagian dari Kepulauan Tanimbar,
melainkan bagian dari Kepulauan Kai dan berpenghuni kurang dari 1000
jiwa, warganya sangat tradisional. Setengah dari populasi pulau ini
mengaku beragama Hindu, namun kenyataannya mereka mempraktekkan pemujaan leluhur, yakni sistem religi asli Kepulauan Kai.
Pada tahun 1999 pecah kerusuhan antara warga Muslim dan Kristiani di Kota Ambon yang kemudian merambat pula ke Kepulauan Kai, akan tetapi dengan cepat mereda serta tidak banyak menelan korban jiwa.
BAHASA
Ada
tiga bahasa rumpun austronesia yang dipertuturkan di Kepulauan Kai;
Bahasa Kei (Veveu Evav) adalah yang paling luas pemakaiannya, yakni di
207 desa di Kei Kecil, Kei Besar, dan pulau-pulau sekitarnya. Penduduk
Pulau Kur dan Kamear menggunakan Bahasa Kur (Veveu Kuur) dalam
percakapan sehari-hari, Bahasa Kei mereka gunakan sebagai lingua franca.
Bahasa Banda (Veveu Wadan) digunakan di desa Banda Eli (Wadan El)dan
Banda-Elat (Wadan Elat) di bagian barat dan Timur Laut Pulau Kei Besar.
Para Pengguna Bahasa Banda berasal dari Kepulauan Banda, tempat di mana
bahasa itu tidak lagi digunakan. Bahasa Kei tidak memiliki sistem
tulisan sendiri. Para misionaris Katolik dari Belanda menuliskan
kata-kata Bahasa Kai dengan suatu bentuk variasi penggunaan abjad
Romawi.
KOSA KATA
Beberapa kata dalam Bahasa Kei memiliki fonem V (seperti V pada Via dalam Bahasa Latin) yang berbeda dengan fonem F dan P. Penduduk wilayah Utara Pulau Kei Besar membedakan fonem R seperti pada kata Rata dalam Bahasa Indonesia, dengan fonem R seperti pada français /fʁɑ̃ sɛ/ dalam bahasa Perancis. Meskipun demikian, dalam bentuk tertulis, kedua fonem ini tidak dibedakan.
Kosa
kata Bahasa Kei modern mencakup banyak kata serapan dari banyak bahasa
lain terutama Bahasa Melayu. Sebagian besar adalah nomina, yakni nama
beberapa benda yang baru dikenal masyarakat Kepulauan Kei pada akhir
abad ke-19. Kata-kata yang memiliki huruf P dan G dapat dipastikan
merupakan kata serapan, karena kedua fonem tersebut tidak dikenal dalam
kosa kata Bahasa Kei asli.
Contoh beberapa kata serapan :
- Gur = Guru
- Agam, Angam, Ayngam = Agama
- Masikit = Masjid
- Pen = Pena
PEREKOMIAN
Kepulauan
Kei dianugerahi terumbu karang yang produktif dan berlimpah,
dikelilingi laut yang dalam. Seperti kebanyakan masyarakat Maluku, mata
pencaharian orang Kei merupakan suatu kombinasi dari kegiatan
bercocok-tanam, berburu, dan menangkap ikan di perairan sekitar pantai.
Karena Kepulauan Kei tidak menghasilkan rempah-rempah ataupun komoditas
yang bernilai tinggi lainnya selain kayu, perahu dan teripang, maka Kei
luput dari perhatian pedagang dan kolonialis Barat sampai dasawarsa
terakhir abad ke-19. Ikan dan kerang berlimpah ruah di laut sekitar
Kepulauan Kei. Menangkap ikan adalah aktivitas sekunder;
keluarga-keluarga umumnya menghabiskan lebih banyak waktu untuk bercocok
tanam. Warga desa menangkap ikan dengan menggunakan perangkap ikan,
kail, lembing, dan jala, atau dengan mengumpulkan ikan-ikan yang
terjebak di terumbu karang dan ceruk-ceruk pantai pada saat air laut
surut. Sejak tahun 1980an, banyak nelayan mulai menggunakan jaring nilon
dan motor tempel. Beberapa warga desa memperdagangkan sebahagian hasil
panen atau tangkapannya kepada para tengkulak atau di pasar-pasar kota
Tual dan Elat. Sumber pendapatan tunai lainnya mencakup penjualan kopra
dan cangkang kerang lola (Trochus niloticux), usaha dagang eceran,
sumbangan dari anggota keluarga di rantau, dan gaji pegawai negeri.
SENI BUDAYA - ALAT MUSIK
Alat musik tradisional di Kepulauan Kai adalah:
- Savarngil (Suling): Seruling kecil lokal sepanjang 4 sampai 8 inci, terbuka di kedua ujung, memiliki enam lubang tempat jari, terbuat dari bambu, dan tanpa kunci nada.
- Tiva (Gendang): Terdiri atas selembar membran dari kulit sapi yang direntangkan erat-erat menutupi salah satu ujung dari sebuah wadah yang berlubang.
- Dada (Gong): Alat musik tabuh dengan jari-jari 12 sampai 15 inci, terbuat dari tembaga atau besi dengan tonjolan di bagian tengah.
TARIAN
Sosoy
Temar-Rubil (Tarian Perang) yang penuh semangat hanya ditarikan oleh
kaum pria, sementara tarian yang lembut seperti Sosoy Kibas (Tari Kipas)
hanya ditarikan oleh kaum wanita. Gerakan-gerakan yang tidak terlampau
lembut maupun beringas hanya terdapat dalam Sosoy Sawat (Tarian
Pergaulan) dan Sosoy Yarit (Tarian Umum), dan oleh karenanya dapat
ditarikan baik oleh pria maupun wanita. Gerak-gerik yang agung dan
lemah-lembut diijinkan dalam tarian pria seperti dalam Sosoy Swar
Man-Vuun (Tarian Penghormatan), namun gerak-gerik yang cepat dan lincah
tidak terdapat dalam tarian wanita. Tarian asli Kei umumnya diciptakan
untuk tujuan penghormatan, sehingga jarang ditarikan oleh anak-anak.
Hanya orang dewasa dan remaja akil-balig yang diikutsertakan. Bahkan
sosoy Swar Man-Vuun yang dipentaskan di haluan "Bilan" (Perahu
Kebesaran) dulunya hanya ditarikan oleh pria yang sudah berkeluarga.
Penari wanita di kepulauan Kei juga menggunakan Kipas, Yerikh
(Daun lontar yang dikeringkan) dan Penari Pria dapat menggunakan panah,
parang, Tombak dan juga bulu Kasuari dan diikatkan pada ujung tongkat
berukuran kurang lebih 10 cm.
Seperti
di banyak tempat di Kepulauan Maluku, sejak zaman kolonial, orang Kei
mengenal pula dansa ala Eropa, dan kaum mudanya saat ini tidaklah jauh
tertinggal dalam seni tari kontemporer. Dansa Waltz, cha cha cha, dan
bahkan joget dangdut umum dijumpai dalam pesta-pesta mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar